Pada artikel kali ini, kita akan membahas cerita pendek atau disingkat menjadi cerpen. Tema yang akan diambil yaitu adalah tema persahabatan. Langsung saja, berikut contoh cerpen tema persahabatan.
Malaikat
Kecil
Kemarin kelasku kedatangan seorang murid baru, ia perempuan.
Dia pintar, baik hati, murah senyum, jujur, dapat dipercaya, dan cantik. Dia
cantik baik dari luar, maupun dari dalam. Namanya Aresha Ravan Arabella,
namanya unik, aku menyukainya. Kami biasanya memanggil dengan nama depan,
Aresha, begitulah kami memanggilnya. Bisa dibilang Aresha sempurna, hanya saja
ia pemalu dan jarang bergaul, dia selalu menyendiri sembari membaca buku.
Memang baru
kemarin, tetapi sikap Aresha sudah membuktikannya kemarin. Di saat semua tidak
bisa menjawab soal di papan tulis, Aresha maju kemudian menjawabnya dengan
menulis jawaban di bawah soal. Dia baik hati, dia meminjamkan peralatan
tulisnya kepada teman-teman. Jujur juga dapat dipercaya, kemarin 1 kelas
memintanya membeli jajan di kantin, Aresha melakukannya sesuai pesanan yang
kami minta, tidak ada kekurangan apapun. Sebenarnya agak tidak enak juga
meminta Aresha membeli jajan seorang diri waktu itu, tetapi pelajaran Fisika
dengan kami diberi amanah mengerjakan soal dan harus ditumpuk hari itu juga
membuat kami tidak bisa ke kantin. Tetapi Aresha yang sudah selesai mengerjakan
tugas, menawarkan diri dengan mengetuk kursi Mega, perempuan yang duduk di
depan Aresha, lalu menulis bahwa ia mau dititipkan pesanan kami 1 kelas
Wajahnya cantik, kok, dia juga punya lesung pipi di ke-2 pipinya. Setelah
dilihat dari fisiknya, sikapnya kepada kami menunjukkan ia juga cantik di
dalam.
Nah,
lihat. Baru saja aku mengingat kebaikan Aresha, bola mataku menatap
kehadirannya. Lihat, lihat, dia sangat baik. Ia membantu sepasang kakek-nenek
untuk menyebrang, dengan senyum Aresha yang tidak pernah hilang. Belum sampai
situ, Aresha juga menyelamatkan kupu-kupu yang tidak bisa terbang, ia
meletakkannya di kursi jalan supaya tidak tertabrak jika di jalan. Aresha juga
memberi uang kepada anak kecil manis yang meminta sedekah, selain uang Aresha juga
memberikan sebungkus roti yang kuyakini bekalnya hari ini. Aresha juga membantu
ibu-ibu yang tengah membersihkan kaca toko. Aku tersenyum melihatnya, sembari
menunggu trafic light berganti
berwarna hijau yang sungguh lama, tidak masalah kalau aku mendapati pemandangan
ini.
"Lagi
liatin siapa, Dek?" aku menoleh, seorang lelaki yang duduk di sampingku,
kursi sopir, mengganti saluran radio, lalu membesarkan suhu AC mobil, kemudian
menatapku heran. Dia kakakku, Kak Aron.
“Anu..
teman Cala. Teman baru, namanya Aresha” jawabku
“Cewek,
kan?” tanya Kak Aron menyelidik, aku tertawa geli. Kak Aron itu over protective padaku, dia selalu
memperhatikanku. Jujur saja aku beruntung memiliki seorang kakak lelaki,
terutama kakak yang sifatnya seperti Kak Aron. Dijamin kalian juga akan ingin
mempunyainya.
“Iya,
Kak. Sante aja, Cala juga nggak deket sama laki, kok” jawabku.
“Pokoknya
kamu nggak boleh pacaran, masih kecil” pesan Kak Aron kesekian kalinya.
“Kenapa,
sih? Cala udah besar, Cala udah SMA juga. Biasanya, banyak yang pacaran kalua
SMA, umur yang wajar buat pacarana. Kenapa Cala nggak boleh?” protesku, habis
kesal saja, seharusnya kelas 11 itu udah boleh buat pacaran, kan?
“Karena
kamu adik Kakak, kamu spesial, Cala. Kakak nggak mau nanti kamu lari-lari ke
kamar Kakak terus curhat kalau pacar kamu PHP atau hal basi lainnya. Kakak
nggak mau kamu sakit hati gara-gara cowok, lagi pula masih ada banyak hal yang
bisa bahagiain kamu selain pacar. Punya pacar itu nggak selamanya bahagia,
pasti ada lika-likunya. Dan, Kakak masih belum siap liat kamu di saat lika-liku
itu terjadi” jelas Kak Aron yang sudah kembali fokus mengendarai mobil lantaran
lampu sudah berganti menjadi hijau.
“Iya-iya,
lagian Cala nggak suka sama siapa-siapa, kok. Ngidolain doang” kataku,
tiba-tiba aku jadi teringat Aresha, aku berencana ingin menawarinya bareng ke
sekolah. Saat membalikkan badan menatap toko tempat Aresha mengelap kaca, aku
terkejut bukan main. Tidak mungkin.
“Kak,
berhentiin mobilnya!” seruku panik, memukul-mukul lengan kiri Kak Aron yang
tengah menyetir.
“Kenapa?”
tanya Kak Aron heran.
“Turun
aja!” seruku, walau heran Kak Aron menurut. Kak Aron menepikan mobil, sebelum
mobil belum benar-benar berhenti aku sudah membuka pintu dan langsung keluar.
“Cala!”
teriak Kak Aron dari dalam, aku tidak menghiraukannya. Aku terus berlari,
pemandanganku sudah buram, perlahan air bening itu keluar dari mataku. Aku
mendorong kasar kerumunan orang-orang, lalu langsung memeluk orang yang kini
terbaring tak sadarkan diri.
“Cala!
Kamu kena-“ Kak Aron terdiam, “dia bakal baik-baik aja, sini Kakak bawa masuk
ke mobil” Kak Aron langsung bertindak, ia membopong Aresha masuk ke dalam
mobil. Aku menangis terus-terusan di dalam mobil.
“Udah,
diem. Itu darahnya dibersihin dulu, kena seragam semua” sembari menyetir Kak
Aron memberikan setumpuk tisu kepadaku, namun aku tidak menyahut, masih
menangis. Aku trauma. Kejadian dulu terulang, hal yang sama terjadi. Aresha
tertabrak, sama seperti ke-2 orang tuaku. Parahnya lagi, aku melihat dengan
mata-kepala sendiri detik-detik orang tuaku pergi meninggalkanku, Kak Aron,
juga dunia ini. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kepada temanku, aku
tidak mau kembali kehilangan, terutama teman sebaik Aresha.
“Dia..
Aresha?” tebak Kak Aron, membersihkan darah di tanganku. Aku hanya bisa
mengangguk, sembari sesenggukan. Saat ini kami sedang menunggu Aresha yang
tengah diperiksa oleh dokter.
“Takdir,
ya?” gumam Kak Aron pelan, namun aku dapat mendengarnya. Aku tidak mengerti
maksudnya.
“Permisi”
seorang suster berdiri tepat di sebelah kami duduk, “apa kalian keluarga
pasien?”
“Tidak,
tapi saya temannya” jawabku langsung sembari berdiri, “bagaimana?”
“Maaf,
pasien tidak bisa diselamatkan. Selain itu, kami juga memeriksa bahwa pasien
mempunyai kanker otak stadium akhir. Juga pita suaranya menghilang, sehingga
pasien bisu. Mungkin, Anda kenal keluarga pasien? Kita harus segera menghubungi
keluarganya” terang suster, aku membeku. Langsung duduk lemas dan menangis
kencang, tidak, kejadian yang sama terulang. Kejadian orang tuaku, terulang ke
temanku. Jadi, itukah alasan Aresha menyendiri? Alasan Aresha tidak bergaul?
Alasan Aresha menawari melalui Mega dengan menulis di buku? Alasan Aresha
menulis jawabannya di papan tulis, tidak dijawab langsung dengan suara?
Stadium
akhir? Kanker otak? Di usia muda seperti ini? Dari semua kebaikan yang Aresha
berikan, walau baru kemarin kami bertemu, Aresha menghadapi takdir pahit ini?
Dan di saat seperti itu ia masih bisa membantu orang-orang? Masih bisa
tersenyum manis? Masih berbuat baik tanpa adanya raut kesedihan? Mengapa Aresha
pandai menggunakan topeng?
Bagaimana
keluarganya? Apa yang harus kulakukan? Keluarganya akan terus mencarinya jika
tidak diberitau kabar sebenarnya. Tetapi melalui apa? Aku tidak mengenal keluarga
Aresha, bahkan mungkin 1 kelas tidak ada yang tahu.
“Cala,
ayo pulang” Kak Aron berusaha mendirikanku yang kini sudah lemas, kenapa aku
harus melalui kejadian yang sama dua kali? Kenapa juga harus Aresha? Si
perempuan sempurna, aku menyukainya, aku mengidolakannya. Tentu saja, siapa
yang tidak akan suka dengan sikap Aresha? Tidak ada.
“Cala, ada yang harus Kakak beritau” Kak Aron
menatapku serius begitu aku duduk lemas di atas kasur, ia kemudian mengeluarkan
sebuah album. Kak Aron membuka halaman demi halaman, lalu berhenti pada 1
halaman penuh foto berisi 2 perempuan yang tengah bahagia, tidak menyadari
sedang dipotret.
“Kamu
tau siapa dia?” tanya Kak Aron sembari menunjuk anak kecil yang dikucir 2.
“Bukannya
Kakak sendiri yang bilang kalau itu sahabat Cala?” tanyaku balik. Ya. Aku
amnesia. Aku lupa ingatan. Kak Aron pernah bercerita, dulu aku mempunyai
sahabat sejati. Kami dekat, saling melengkapi. Persahabatan kami kokoh.
Sayangnya hubungan kami merenggang setelah kejadian itu. Kejadian ke-2 orang
tuaku yang berusaha menyelamatkanku, aku selamat, namun mereka tidak. Dari situ
pula aku amnesia, akibat terbentur sesuatu yang keras. Karena lupa ingatan aku
jadi tidak seakrab dulu dengan sahabatku. Begitulah cerita Kak Aron.
“Ingat
tentang pita suaramu yang putus karena kejadian saat itu?” tanya Kak Aron, aku
mengangguk. Selang beberapa hari setelah kejadian, aku mengalami kejadian baru
lagi. Suaraku menghilang. Entah apa penyebabnya, aku lupa. Aku waktu itu masih
kecil, tidak tau apa-apa. Saat beranjak dewasa, aku terus penasaran siapa orang
yang rela mendonorkan pita suaranya kepadaku? Setelah kejadian suaraku
menghilang, aku melakukan operasi, katanya ada yang mau mendonorkan pita
suaranya.
“Tau
siapa yang mendonornya?” tanya Kak Aron lagi, aku menggeleng, tentu saja. Tidak
ada yang memberitahuku. Kak Aron sendiri bilang, Kak Aron sendiri tidak tahu.
Kata pihak rumah sakit, pendonor merahasiakannya, tidak mau memberitahu
identitasnya kepada kami.
“Jujur,
Kakak sebenarnya tahu. Kakak menguping secara tidak sengaja saat itu” kata Kak Aron setelah suasana diam terjadi di antara kami. Aku langsung mengangkat
kepala yang awalnya menunduk, sudah jelas mataku menyiratkan meminta jawaban.
“Aresha
Ravan Arabella”
DEG!
“Dan
kamu tau siapa nama sahabat kecilmu itu?
Lengang.
“Aresha
Ravan Arabella”
DEG!
Sahabatku,
sahabat kecilku, yang mungkin sakit hati karena aku tidak mengingat kenangan
bersamanya, mendonorkan pita suaranya padaku. Tanpa diduga, Tuhan membawa
skenario kami kembali bertemu. Hanya saja, Tuhan hanya memberi kesempatan
sebentar, sebelum sahabatku menyusul orang tuaku pergi.
Aku
memang tidak tau seberapa dekat kami dulu, seberapa akrab kami dulu, tapi
pemberian Aresha membuatku yakin kami sangatlah dekat. Aresha, dengan
kecantikan di luar dan dalam. Demi sahabat, ia rela kehilangan suaranya. Tuhan
menullis skenario kejadian sama yang dialami ke-2 orang tuaku, akan terjadi
juga pada sahabatku, Aresha Ravan Arabella.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar