Minggu, 26 November 2017

Contoh Cerpen Tema Kekeluargaan



Not Impossible
"Kenapa dengan putra saya, Dok?" seorang pria langsung menyerbu dokter yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, jelas sekali raut wajah pria itu gelisah juga cemas. Berkali-kali pria itu meremas jari-jarinya, berdoa penuh harap kepada Tuhan. Tidak lupa dengan seorang wanita di belakang pria itu dengan wajah yang tak kalah pucatnya.
Dokter Mila, nama dokter itu, menghela nafas sejenak. Tidak berani mengucapkan kejujuran sebenarnya, namun sebagai dokter, keluarga pasien harus mengetahui keadaan pasien. “Putra anda sudah lama mengidap kanker, saya yakin pasien sudah menahan sakit setelah sekian lama. Sekarang saja pasien sudah berada di stadium ketiga, kalau pasien tidak mendapatkan perawatan yang baik, pasien bisa saja tidak selamat”
Keheningan memenuhi ruangan itu, tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata. Pria dan wanita yang sedari tadi menunggu, kini sesak nafas. Bagaimana bisa?
“Kenapa, Ma? Pa?” tanya seseorang yang baru saja datang mendekat, ia baru saja dari kamar kecil. Melihat dokter datang membuat ia penasaran, namun tidak ada jawaban yang remaja itu dapati. Raut wajah ke-2 orang tuanya menjadi jawabannya, walau tidak tau pasti, yang remaja itu yakini pastilah kabar buruk yang datang menyapa telinga.
“Kenapa, Dok?” remaja itu menatap dokter yang masih diam di tempat, ikut merasakan bagaimana perasaan ke-2 orang tua di hadapannya. “Anda adik pasien?”
“Iya, saya adiknya” jawab remaja itu sembari mengangguk, rasa penasarannya meluap, tetapi sepertinya dokter itu enggan memberitau. Di saat dokter itu sudah membuka mulut, tangis dari sang wanita terdengar. Remaja itu menoleh, menatap mamanya tengah dirangkul papanya.
“Kenapa?” remaja itu mulai habis kesabarannya, ia terlalu penasaran dengan situasi mencekam ini, terlebih sampai mamanya sendiri menangis, tampak juga papanya tengah menahan tangis sekuat tenaga walau nyatanya air mata sudah di ujung tanduk.
“Kenapa!? Dok, kalau ditanya itu dijawab!” paksa remaja itu, mengguncang-guncangkan tubuh sang dokter.
“Kanker apa, Dok?” tanya sang papa, tampak suara beliau bergetar. Remaja itu langsung menoleh, kanker?
“Otak” jawab Dr. Mila.
Aluna menatap air mancur dalam diam, yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan. Kabar akan kakaknya yang mengidap kanker otak sejak lama membuat hatinya tergores, kenapa kakaknya bisa menyembunyikannya sampai di stadium 3? Kenapa dirinya baru sadar sekarang? Kenapa dirinya tidak peka akan rasa perih kepala kakaknya? Aluna yakin, kapan pun rasa sakit itu menyerang, kakaknya mau menahannya dengan senyuman yang tidak mencurigakan.
Air mata kembali menetes, ini sudah kesekian kalinya Aluna menangis. Aluna memang tidak pintar di bidang kesehatan, tapi yang Aluna tau, kanker otak stadium 3 bukanlah hal yang mudah untuk ditangani. Rata-rata para pasien yang mengidap kanker tersebut tak terselamatkan, dan, Aluna tidak ingin hal itu terjadi kepada kakaknya.
Mark, kakaknya, mempunyai banyak impian. Mark adalah orang yang genius, baik, suka melawak, jujur, sabar, dan selalu bisa mengatasi masalah yang menghadang. Mark bagi Aluna adalah seseorang yang sempurna. Perlu diketahui, Aluna sekeluarga pindah ke luar negeri saja itu karena Mark mendapat beasiswa. Saat kabar itu datang, Aluna menangis seharian, dia ingin ikut kakaknya pergi, hingga akhirnya mereka sekeluarga pindah.
Aluna tau, Mark punya banyak cita-cita. Tapi, yang paling Mark inginkan adalah membahagiakan orang yang disayanginya. Mark masih remaja, 17 tahun, sedangkan Aluna 15 tahun, selisih 2 tahun memang. Mark pintar diberbagai hal. Ia suka hal yang berbau Matematika, IPA, IPS, dan TIK. Di kamar Mark saja, sekarang sudah ada beberapa hasil penemuannya.
Bakat Mark tentu akan percuma jika tidak diasah dengan baik, bakat Mark juga akan bermanfaat untuk memajukan negara. Dibanding dengan Aluna, Aluna bukan apa-apa. Aluna hanya remaja biasa, dengan kepintaran yang berbeda jauh jika dibandingkan Mark yang kepintarannya mungkin setinggi Langit ke-7. Aluna tau itu hiperbola, tetapi memang itu perumpaan yang tepat.



Banyak Beta mendengar
Nothing is impossible in world
Beta ingin percaya itu, Beta mau itu benar
Tapi, Beta tidak mau kecewa jika itu tidaklah benar

Jika Beta bisa berbicara kepada Tuhan
Tolong, berikan kesempatan kepada Beta
Beta ingin meminta pertolongan-Nya
Demi kakak Beta

Wahai Tuhan, Beta  memohon
Seperti ajaran Islam, Beta bernadzar
Jika Engkau menyembuhkan kakak Beta
Ambil nyawa Beta sebagai gantinya

Beta berharap Engkau mengabulkan
Tolong, buatlah Beta percaya
Bahwa memang tidak ada 
Yang mustahil di dunia
-Aluna


            Lelaki itu setiap hari datang ke tempatnya, selalu membawa oleh-oleh ketika bertamu. Seorang gadis kecil juga seorang wanita selalu menemani lelaki itu. Lelaki itu selalu berkata kepada sang pemilik tempat sebagai pembuka bahwa, “Memang tidak ada yang mustahil di dunia, Kakak mengakui itu, Aluna”
            Mark tau, apa yang dilakukan adiknya. Sebelum dirinya sadar, ia bertemu Aluna di alam sadar. Mark kira itu hanya mimpi, mendengar Aluna seakan mengatakan kalimat perpisahan. Namun, begitu mendengar adiknya tidak ada di dunia ini, membuat Mark yakin. Aluna pamit kepada dirinya di bawah alam sadar.
            Mark berjanji, ia akan menggapai semua cita-citanya. Mark yakin, jika ia berhasil, jika ia sukses, adik dengan ke-2 lesung pipi di pipinya itu akan tersenyum bangga. Karena, alasan itulah adiknya mengorbankan nyawa untuk dirinya.

Selasa, 21 November 2017

Contoh Cerpen Tema Persahabatan

Pada artikel kali ini, kita akan membahas cerita pendek atau disingkat menjadi cerpen. Tema yang akan diambil yaitu adalah tema persahabatan. Langsung saja, berikut contoh cerpen tema persahabatan.

Malaikat Kecil
Kemarin kelasku kedatangan seorang murid baru, ia perempuan. Dia pintar, baik hati, murah senyum, jujur, dapat dipercaya, dan cantik. Dia cantik baik dari luar, maupun dari dalam. Namanya Aresha Ravan Arabella, namanya unik, aku menyukainya. Kami biasanya memanggil dengan nama depan, Aresha, begitulah kami memanggilnya. Bisa dibilang Aresha sempurna, hanya saja ia pemalu dan jarang bergaul, dia selalu menyendiri sembari membaca buku.
Memang baru kemarin, tetapi sikap Aresha sudah membuktikannya kemarin. Di saat semua tidak bisa menjawab soal di papan tulis, Aresha maju kemudian menjawabnya dengan menulis jawaban di bawah soal. Dia baik hati, dia meminjamkan peralatan tulisnya kepada teman-teman. Jujur juga dapat dipercaya, kemarin 1 kelas memintanya membeli jajan di kantin, Aresha melakukannya sesuai pesanan yang kami minta, tidak ada kekurangan apapun. Sebenarnya agak tidak enak juga meminta Aresha membeli jajan seorang diri waktu itu, tetapi pelajaran Fisika dengan kami diberi amanah mengerjakan soal dan harus ditumpuk hari itu juga membuat kami tidak bisa ke kantin. Tetapi Aresha yang sudah selesai mengerjakan tugas, menawarkan diri dengan mengetuk kursi Mega, perempuan yang duduk di depan Aresha, lalu menulis bahwa ia mau dititipkan pesanan kami 1 kelas Wajahnya cantik, kok, dia juga punya lesung pipi di ke-2 pipinya. Setelah dilihat dari fisiknya, sikapnya kepada kami menunjukkan ia juga cantik di dalam.  
Nah, lihat. Baru saja aku mengingat kebaikan Aresha, bola mataku menatap kehadirannya. Lihat, lihat, dia sangat baik. Ia membantu sepasang kakek-nenek untuk menyebrang, dengan senyum Aresha yang tidak pernah hilang. Belum sampai situ, Aresha juga menyelamatkan kupu-kupu yang tidak bisa terbang, ia meletakkannya di kursi jalan supaya tidak tertabrak jika di jalan. Aresha juga memberi uang kepada anak kecil manis yang meminta sedekah, selain uang Aresha juga memberikan sebungkus roti yang kuyakini bekalnya hari ini. Aresha juga membantu ibu-ibu yang tengah membersihkan kaca toko. Aku tersenyum melihatnya, sembari menunggu trafic light berganti berwarna hijau yang sungguh lama, tidak masalah kalau aku mendapati pemandangan ini.
"Lagi liatin siapa, Dek?" aku menoleh, seorang lelaki yang duduk di sampingku, kursi sopir, mengganti saluran radio, lalu membesarkan suhu AC mobil, kemudian menatapku heran. Dia kakakku, Kak Aron. 
“Anu.. teman Cala. Teman baru, namanya Aresha” jawabku
“Cewek, kan?” tanya Kak Aron menyelidik, aku tertawa geli. Kak Aron itu over protective padaku, dia selalu memperhatikanku. Jujur saja aku beruntung memiliki seorang kakak lelaki, terutama kakak yang sifatnya seperti Kak Aron. Dijamin kalian juga akan ingin mempunyainya.
“Iya, Kak. Sante aja, Cala juga nggak deket sama laki, kok” jawabku.
“Pokoknya kamu nggak boleh pacaran, masih kecil” pesan Kak Aron kesekian kalinya.
“Kenapa, sih? Cala udah besar, Cala udah SMA juga. Biasanya, banyak yang pacaran kalua SMA, umur yang wajar buat pacarana. Kenapa Cala nggak boleh?” protesku, habis kesal saja, seharusnya kelas 11 itu udah boleh buat pacaran, kan?
“Karena kamu adik Kakak, kamu spesial, Cala. Kakak nggak mau nanti kamu lari-lari ke kamar Kakak terus curhat kalau pacar kamu PHP atau hal basi lainnya. Kakak nggak mau kamu sakit hati gara-gara cowok, lagi pula masih ada banyak hal yang bisa bahagiain kamu selain pacar. Punya pacar itu nggak selamanya bahagia, pasti ada lika-likunya. Dan, Kakak masih belum siap liat kamu di saat lika-liku itu terjadi” jelas Kak Aron yang sudah kembali fokus mengendarai mobil lantaran lampu sudah berganti menjadi hijau.
“Iya-iya, lagian Cala nggak suka sama siapa-siapa, kok. Ngidolain doang” kataku, tiba-tiba aku jadi teringat Aresha, aku berencana ingin menawarinya bareng ke sekolah. Saat membalikkan badan menatap toko tempat Aresha mengelap kaca, aku terkejut bukan main. Tidak mungkin.
“Kak, berhentiin mobilnya!” seruku panik, memukul-mukul lengan kiri Kak Aron yang tengah menyetir.
“Kenapa?” tanya Kak Aron heran.
“Turun aja!” seruku, walau heran Kak Aron menurut. Kak Aron menepikan mobil, sebelum mobil belum benar-benar berhenti aku sudah membuka pintu dan langsung keluar.
“Cala!” teriak Kak Aron dari dalam, aku tidak menghiraukannya. Aku terus berlari, pemandanganku sudah buram, perlahan air bening itu keluar dari mataku. Aku mendorong kasar kerumunan orang-orang, lalu langsung memeluk orang yang kini terbaring tak sadarkan diri.
“Cala! Kamu kena-“ Kak Aron terdiam, “dia bakal baik-baik aja, sini Kakak bawa masuk ke mobil” Kak Aron langsung bertindak, ia membopong Aresha masuk ke dalam mobil. Aku menangis terus-terusan di dalam mobil.
“Udah, diem. Itu darahnya dibersihin dulu, kena seragam semua” sembari menyetir Kak Aron memberikan setumpuk tisu kepadaku, namun aku tidak menyahut, masih menangis. Aku trauma. Kejadian dulu terulang, hal yang sama terjadi. Aresha tertabrak, sama seperti ke-2 orang tuaku. Parahnya lagi, aku melihat dengan mata-kepala sendiri detik-detik orang tuaku pergi meninggalkanku, Kak Aron, juga dunia ini. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kepada temanku, aku tidak mau kembali kehilangan, terutama teman sebaik Aresha.
“Dia.. Aresha?” tebak Kak Aron, membersihkan darah di tanganku. Aku hanya bisa mengangguk, sembari sesenggukan. Saat ini kami sedang menunggu Aresha yang tengah diperiksa oleh dokter.
“Takdir, ya?” gumam Kak Aron pelan, namun aku dapat mendengarnya. Aku tidak mengerti maksudnya.
“Permisi” seorang suster berdiri tepat di sebelah kami duduk, “apa kalian keluarga pasien?”
“Tidak, tapi saya temannya” jawabku langsung sembari berdiri, “bagaimana?”
“Maaf, pasien tidak bisa diselamatkan. Selain itu, kami juga memeriksa bahwa pasien mempunyai kanker otak stadium akhir. Juga pita suaranya menghilang, sehingga pasien bisu. Mungkin, Anda kenal keluarga pasien? Kita harus segera menghubungi keluarganya” terang suster, aku membeku. Langsung duduk lemas dan menangis kencang, tidak, kejadian yang sama terulang. Kejadian orang tuaku, terulang ke temanku. Jadi, itukah alasan Aresha menyendiri? Alasan Aresha tidak bergaul? Alasan Aresha menawari melalui Mega dengan menulis di buku? Alasan Aresha menulis jawabannya di papan tulis, tidak dijawab langsung dengan suara?
Stadium akhir? Kanker otak? Di usia muda seperti ini? Dari semua kebaikan yang Aresha berikan, walau baru kemarin kami bertemu, Aresha menghadapi takdir pahit ini? Dan di saat seperti itu ia masih bisa membantu orang-orang? Masih bisa tersenyum manis? Masih berbuat baik tanpa adanya raut kesedihan? Mengapa Aresha pandai menggunakan topeng?
Bagaimana keluarganya? Apa yang harus kulakukan? Keluarganya akan terus mencarinya jika tidak diberitau kabar sebenarnya. Tetapi melalui apa? Aku tidak mengenal keluarga Aresha, bahkan mungkin 1 kelas tidak ada yang tahu.
“Cala, ayo pulang” Kak Aron berusaha mendirikanku yang kini sudah lemas, kenapa aku harus melalui kejadian yang sama dua kali? Kenapa juga harus Aresha? Si perempuan sempurna, aku menyukainya, aku mengidolakannya. Tentu saja, siapa yang tidak akan suka dengan sikap Aresha? Tidak ada.
 “Cala, ada yang harus Kakak beritau” Kak Aron menatapku serius begitu aku duduk lemas di atas kasur, ia kemudian mengeluarkan sebuah album. Kak Aron membuka halaman demi halaman, lalu berhenti pada 1 halaman penuh foto berisi 2 perempuan yang tengah bahagia, tidak menyadari sedang dipotret.
“Kamu tau siapa dia?” tanya Kak Aron sembari menunjuk anak kecil yang dikucir 2.
“Bukannya Kakak sendiri yang bilang kalau itu sahabat Cala?” tanyaku balik. Ya. Aku amnesia. Aku lupa ingatan. Kak Aron pernah bercerita, dulu aku mempunyai sahabat sejati. Kami dekat, saling melengkapi. Persahabatan kami kokoh. Sayangnya hubungan kami merenggang setelah kejadian itu. Kejadian ke-2 orang tuaku yang berusaha menyelamatkanku, aku selamat, namun mereka tidak. Dari situ pula aku amnesia, akibat terbentur sesuatu yang keras. Karena lupa ingatan aku jadi tidak seakrab dulu dengan sahabatku. Begitulah cerita Kak Aron.
“Ingat tentang pita suaramu yang putus karena kejadian saat itu?” tanya Kak Aron, aku mengangguk. Selang beberapa hari setelah kejadian, aku mengalami kejadian baru lagi. Suaraku menghilang. Entah apa penyebabnya, aku lupa. Aku waktu itu masih kecil, tidak tau apa-apa. Saat beranjak dewasa, aku terus penasaran siapa orang yang rela mendonorkan pita suaranya kepadaku? Setelah kejadian suaraku menghilang, aku melakukan operasi, katanya ada yang mau mendonorkan pita suaranya.
“Tau siapa yang mendonornya?” tanya Kak Aron lagi, aku menggeleng, tentu saja. Tidak ada yang memberitahuku. Kak Aron sendiri bilang, Kak Aron sendiri tidak tahu. Kata pihak rumah sakit, pendonor merahasiakannya, tidak mau memberitahu identitasnya kepada kami.
“Jujur, Kakak sebenarnya tahu. Kakak menguping secara tidak sengaja saat itu” kata Kak Aron setelah suasana diam terjadi di antara kami. Aku langsung mengangkat kepala yang awalnya menunduk, sudah jelas mataku menyiratkan meminta jawaban.
“Aresha Ravan Arabella”
DEG!
            “Dan kamu tau siapa nama sahabat kecilmu itu?
Lengang.
            “Aresha Ravan Arabella”
DEG!
            Sahabatku, sahabat kecilku, yang mungkin sakit hati karena aku tidak mengingat kenangan bersamanya, mendonorkan pita suaranya padaku. Tanpa diduga, Tuhan membawa skenario kami kembali bertemu. Hanya saja, Tuhan hanya memberi kesempatan sebentar, sebelum sahabatku menyusul orang tuaku pergi.
            Aku memang tidak tau seberapa dekat kami dulu, seberapa akrab kami dulu, tapi pemberian Aresha membuatku yakin kami sangatlah dekat. Aresha, dengan kecantikan di luar dan dalam. Demi sahabat, ia rela kehilangan suaranya. Tuhan menullis skenario kejadian sama yang dialami ke-2 orang tuaku, akan terjadi juga pada sahabatku, Aresha Ravan Arabella.

Masakan

Bolu Koja Bahan: 250 gram tepung terigu 1 sdt adas manis 1/4 sdt kapulaga bubuk 1 sdt kayu manis bubuk 1/4 sdt vanili bubuk ...