Mimpi Naura
"Siapa yang tertinggi?" tanya Lili langsung, nafasnya masih terengah-engah lantaran ia baru saja berlari agar bisa cepat sampai ke depan kelasnya.
"Naura" jawab Nana yang baru saja mengintip dan menguping kegiatan yang ada di dalam kelas, karena diantara mereka hanya Nana sang Telinga dan Mata Tajam.
"Wesee.. Traktiran, kan, ya?" Tina menyikut lengan Naura yang berada di sebelahnya, bermaksud menggoda temannya itu.
"Tanggal tua" tolak Naura.
Ririn berdecak, "Ayolah, Ra. Ini udah yang kesekian kali kamu ranking pertama, nggak di kelas, nggak di pararel"
"Palarel" ralat Kiky, walau masih salah.
"Bener pararel, Ky" koreksi Vina.
"Pararer" timbrung Cica.
"Kok malah kedengarannya salah semua, ya?" Salsa berujar, terdengar nada keraguan dari pertanyaan Salsa.
Hilma mendesah, "Gimana, sih, yang bener?"
Wulan tertawa, "Bahas satu kata aja ribetnya kayak gini"
Mendengar ucapan Wulan, semua ikut tertawa, tidak menyangka saja, hanya karena 1 kata, mereka jadi berpikir keras begini untuk mencari pengucapan dan perkataan yang benar.
"Paralel"
Semua lantas menoleh, siapa lagi jika bukan Naura yang menjawab usai perempuan itu tertawa sejak tadi melihat kebingungan dengan kerutan yang terpatri di kening teman-teman Naura.
"Nah, ituu!!"
"Udah, lanjut. Tadi yang ngomong terakhir siapa? Orang yang buat kita bahas para.. ya para itulah!" Risa mengibaskan tangan, masa bodo dengan pembenaran kata yang baru saja mereka bahas.
"Eh, tadi siapa yang buat kita bahas tadi?" Tira menatap teman-temannya.
"Baru beberapa detik mungkin, ya, kita semua udah lupa siapa tadi yang bilang itu" Gina terkekeh, bagi dirinya itu merupakan hal yang lucu.
"Udahlah, siapa yang mau ngomong tinggal ngomong aja" Esa menengahi.
Keadaan lengang.
Sontak semua tertawa.
"Nggak ada yang mau ngomong ini ceritanya?" Zulfa bertanya walau masih tertawa geli.
"Oke, aku aja" Bintang mengangkat tangan, "pada mau lanjut ke mana?"
Tidak ada yang menjawab, karena biaya serta pendidikan yang ada di desa tidak sepadan dengan pendidikan di daerah kota biasanya. Pendidikan di desa ini hanyalah sebatas SMP, termaksimal. Jadi, banyak yang sehabis SMP, remaja mulai bekerja. Entah bertani, berkebun, dan lainnya.
"Luar negeri"
Jawaban itu, jawaban yang keluar satu-satunya, membuat semua spontan menoleh ke si Penjawab. Awalnya kaget, namun begitu melihat hingga akhirnya mengetahui siapa yang menjawab, mereka menjadi kembali normal.
"Naura, mah, nggak tanya, atuh"
"Asekk luar negeri"
"Ketemu Manu Rios, kan, ya"
"Atau oppa-oppa ganteng?"
"Oppa cantik, kali"
"Oppa ganteng!"
"Cantik!"
"Ganteng, beb"
"Cantik, Sayang"
"Udah, jangan ribut" lerai Rosa, bermaksud menengahi perdebatan yang sering terjadi diantara teman-temannya.
"Intinya, semangat aja buat Naura, semoga kamu bisa sekolah di luar negeri" sebagai teman yang baik nan peka, Lili memberi semangat untuk Naura.
"Iya, semangat, Na"
"Semoga kamu bisa"
"Kita semua doain kamu, kok"
Naura tersenyum, "Terima kasih, kalian memang teman-teman yang baik"
"Tapi.." Gina menggantungkan ucapannya, "bukannya bermaksud yang enggak-enggak, SMP kita di desa terpencil, gimana cara Naura buat masuk ke SMA yang ada di luar negeri?"
Keadaan lengang.
Nana menjentikkan jarinya, "Bu Yosi pasti bisa bantu, selama ini Bu Yosi peduli sama kita. Bu Yosi pasti nggak bakal ngebiarin harapan Naura pupus gitu aja, juga kepintaran yang ada di otak Naura, pasti Bu Yosi nggak bakal nyerah gitu aja buat masa depan murid-muridnya"
Teman-teman mengangguk juga tersenyum senang dengan penuh keyakinan.
"Nana bener, Bu Yosi itu guru yang perhatian. Pasti Bu Yosi bisa bantu kamu, Na"
"Lagi pula, ada guru lain juga di sekolah ini. Pasti mereka mau bantuin Naura buat nyari cara biar Naura sekolah di luar negeri"
Senyum lebar nan haru merekah di wajah Naura, "Terima kasih buat kalian yang selalu nyemangatin dan ngasih hal-hal yang optimis ke aku"
"Cita-cita kamu apa, Na?" tanya Wulan.
"Dokter" jawab Naura.
"Besok kalau kamu udah sukses, jangan lupa kita, jangan lupa kampung halaman kamu, balik lagi ke sini. Sembuhin warga-warga sini, buat kita semua bangga buat kamu yang kelak sukses" Tina menepuk-nepuk pundak Naura, Naura mengangguk semangat.
Berawal dari sini, semangat '45 Naura tak pernah pupus. Naura datang ke Bu Yosi usai acara pembagian rapot tengah semester, Naura meminta bantuan Bu Yosi untuk membantunya. Dan tentu Bu Yosi menerima.
Ke sana-ke mari, Bu Yosi mencari informasi di kota. Kerja keras Bu Yosi guna mencari informasi penting berkaitan Naura, teman-teman Naura yang selalu menyemangati Naura, juga Naura yang selalu tekun belajar dengan sungguh-sungguh.
Setelah sekian lama, akhirnya Bu Yosi menemukan sebuah beasiswa di London. Langsung saja Bu Yosi mengabarkan hal itu ke Naura, dan Naura dengan semangat akan mengikuti tes beasiswa itu, tak luput dari semangat teman-temannya.
Memang, kerja keras tidak akan pernah mengecewakan hasil.
Naura sudah menjalani tes ini-itu, mulai tes perwakilan kotanya untuk mengikuti tes beasiswa itu. Lalu tes kembali se-kabupaten, lalu se-kota, hingga tes perwakilan dari Indonesia yang akan mengikuti tes beasiswa di London itu.
Berkat usaha, niat, doa, serta semangat Naura, Naura berhasil menjadi perwakilan Indonesia untuk mengikuti tes beasiswa bersekolah di London.
Tuhan telah menulis takdir Naura, hingga akhirnya Naura berhasil mendapat beasiswa itu. Bertahun-tahun Naura belajar pendidikan di negara itu, hingga saat beranjak dewasa, Naura balik ke negaranya.
Langsung didatanginya rumah Bu Yosi, dipeluk, disayang, diucapkan beribu-ribu rasa terima kasih kepada gurunya itu. Berkata usaha Bu Yosi untuk mencari informasi, Naura bisa sukses menjadi dokter seperti saat ini.
Lalu, teman-teman Naura yang mengetahui kabar ini dengan cepat segera mendatangi Naura dan memberikan ucapan selamat kepada perempuan itu. Naura pun tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, kalimat penyemangat teman-teman Naura membuat Naura berpikir optimis selalu.
Hingga, sampailah Naura menjadi dokter terkenal. Walau begitu, Naura tetap tinggal di desanya. Berkat kehadiran Naura yang telah sukses menjadi dokter, desa Naura bersih, anti penyakit.
Kerap kali Naura mengingat pesan Bu Yosi sebelum Naura meninggalkan desanya guna menambah wawasan ilmu di London.
"Walau kamu lahir di desa, tinggal di desa, hidup di desa, bukan berarti kamu kalah sama mereka yang hidup di kota, yang berteknologi tinggi guna mempelajari berbagai hal lebih mudah. Semua bisa kamu lakukan dari hati kamu, dari semangat kamu, dari pendekatan kamu kepada Tuhan, juga dari tekunnya kamu belajar"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar